THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Senin, 27 April 2009

Musi 3 Tiru Golden Gate


PALEMBANG, SRIPO � Seminar Sehari Rencana Pembangunan Jembatan Musi 3 Palembang, Kamis (4/3) lalu menyepakati pembangunan Jembatan Musi 3 direalisasikan dengan model jembatan ber-tower. Pembangunan Jembatan Musi 3 yang juga dilengkapi restauran diperkirakan menelan dana antara Rp 325 - Rp 400 miliar.
Kepala Dinas PU Bina Marga Sumsel, Ir Budi Rahardjo mengemukakan dengan model konstruksi jembatan ber-tower, dari atas Jembatan Musi 3 akan terlihat pemandangan Palembang secara keseluruhan. �Model cable stay, kayak Golden Gate atau Jembatan Barelang begitu. Dengan ketinggian sekitar 100 meter,� kata Budi usai mengikuti Rapat Paripurna Laporan Pertanggungjawaban Gubernur di Ruang Rapat DPRD Sumsel, Jumat (5/3).
Budi menambahkan, pembangunan jembatan akan dimulai pada 2005. Pelaksanaannya dilakukan setelah ada survei lapangan. �Detail engineering akan segera dimulai,� kata Budi. Sesuai permintaan Gubernur Sumsel Ir Syahrial Oesman, MM diharapkan pembangunan jembatan ini terlaksana selama kurun waktu sekitar dua tahun. �Pak Gubernur mintanya 2005 segera dimulai pembangunan dan diperkirakan 2007 nanti rampung,� kata Budi.
Pemilihan lokasi jembatan menurut Budi selain disesuaikan dari sisi historis yang ada kaitan dengan Jembatan Ampera, juga harus diperhitungkan bahwa pembangunan jembatan ini merupakan pelayanan masyarakat. �Yang kita layani siapa, misalnya di Sungai Lais tentunya itu akan diperhitungkan masuk dalam lokasi Musi berapa, Musi 4 misalnya. kita tidak mau terulang pengalaman masa lalu, ada SD inpres atau orangnya nggak ada,� kata Budi.
Tentang pelaksana pembangunan, menurut Budi masih akan dibahas. �Perlu perencanaan matang termasuk mengenai apakah akan di-join operasional-kan antara beberapa rekanan,� katanya. Pembangunan Jembatan Musi 3 memerlukan teknologi tinggi dan ketelitian. Juga butuh tenaga kontraktor yang betul-betul berkualitas.
Tentang sumber dana diharapkan sepertiganya (sekitar Rp 100 miliar, Red) dari Pemprop Sumsel, sisanya dari APBN. Namun demikian sangat diharapkan dana seluruhnya dari APBN karena sudah masuk dalam proyek pembangunan nasional.
Kepala Bappeda Sumsel Ir HRA Rachman Zeth menambahkan rencana yang sudah lama didengungkan itu juga disertai pembangunan Jembatan Musi 4. �Prinsip dasarnya kalau sudah disetujui maka kita bangun,� kata Rachman. Langkah yang harus ditempuh untuk menyegerakan pembangunan adalah proses ganti rugi tanah.
�Untuk mengamankan rancang bangun sehingga tidak ada kendala baik teknis di lapangan maupun proses percepatan pembangunan,� katanya.

Arsitektur Masjid Agung

Sultan Mahmud Badaruddin I (Jayo Wikramo) meletakan batu pertama pendiri Mesjid Agung pada 1 Jumadil Akhir 1151 H (=1738 M). Bangunan ini berdiri dibelakang Kuto besak, Istana Sultan yang dulunya terletak disuatu Pulau yang dikelilingi oleh Sungai Musi, Sungai Sekanak, Sungai Tengkuruk, dan Sungai Kapuran.

Tahap pertama pembangunan berlangsung dari tahun 1738 hingga 1748. Mulanya masjid didirikan tanpa menara. Sultan Najamuddin I, putra Sultan Mahmud Badaruddin I, lalu membangun menara di sebelah kanan depan, berbentuk segi enam setinggi sekitar 20 meter.

Masjid yang mempunyai arsitektur yang khas dengan atap limas-nya ini, konon merupakan bangunan masjid yang terbesar di nusantara pada kala itu. Arsiteknya orang Eropa dan beberapa bahan bangunannya seperti marmer dan kacanya diimpor dari luar nusantara. Kala itu daerah pengekspor marmer adalah Eropa. Dari gambar sketsa, atap limas mesjid ini bernuansa Cina dengan bagian ujung atapnya melengkung ke atas. Dengan demikian, pada bangunan mesjid itu terdapat perpaduan arsitektur Eropa dan Cina.

Sosok Masjid Agung saat ini cukup mencolok di tengah Kota Palembang yang semakin padat dan semrawut. Masjid berbentuk bujur sangkar dan bangunan utama berundak tiga dengan puncak atau mustaka berbentuk limas. Undakan ketiga yang menjadi puncak memiliki semacam leher yang jenjang yang dihiasi ukiran bermotif bunga. Pada puncak mustaka terdapat mustika berbentuk bunga merekah. Bentuk berundak dipengaruhi bentuk dasar candi Hindu-Jawa, yang kemudian diserap Masjid Agung Demak yang dipercaya didirikan Wali Songo, penyebar Islam di Jawa.


Di atas sisi limas terdapat jurai daun simbar atau semacam hiasan menyerupai tanduk kambing yang melengkung, sebanyak 13 setiap sisinya. Jurai yang berwarna emas itu berbentuk melengkung dan lancip. Tak pelak lagi, bentuk dasar jurai itu menyerupai atap kelenteng.

Jendela masjid dibuat besar-besar dan tinggi, sedangkan tiang masjid dibuat kokoh dan besar. Pilihan ini menimbulkan kesan seperti umumnya arsitektur Eropa. Gaya itu juga banyak ditemui pada bangunan Indies, yang dibuat semasa Indonesia dijajah Belanda sekitar abad XVIII hingga awal abad XX.

Bangunan Masjid Pertama kali berukuran hampir berbentuk Persegi empat yaitu 30 x 36 m. Keempat sisi bangunan ini terdapat empat penampilan yang berfungsi sebagai pintu masuk, kecuali dibagian barat yang merupakan mihrab. Atapnya berbentuk atap tumpung, terdiri dari tiga tingkat yang melambangkan filosofi keagamaan, atap berundak adalah pengaruh dari candi.

Bahan-bahan yang dipergunakan adalah bahan kelas satu eks impor dari Eropa. Sulitnya mendatangkan material bangunan, maka pekerjaan ini cukup lama dan Masjid Baru dapat di resmikan pada Tanggal 28 Jumadil awal 1161 H atau 26 Mei 1748 M. Pada awalnya Masjid ini tidak mempunyai menara, barulah pada Tahun 1753 di buat menara yang beratap genteng dan tahun 1821 ber ganti atap sirap dan penambahan tinggi menara yang dilengkapi dengan beranda lingkar.

Setelah 100 tahun lebih berdirinya masjid yaitu tahun 1848 diadakan rencana perluasan oleh Pemerintah Kolonial sebelum perluasan diadakan perubahan bentuk gerbang serambi masuk dari bentuk tradisional menjadi bentuk Doric.

Pada tahun 1879 telah diadakan perubahan masjid, perluasan bentuk gerbang serambi masuk di bongkar ditambah serambi yang terbuka dengan tiang benton bulat sehingga bentuknya seperti Pendopo atau seperti gaya banguan kolonial ini adalah perluasan pertama dan penambahan rancangan dan tahun 1874 dilaporan bentuk menara beruba dari aslinya dan tahun 1916 menara ini disempurnakan lagi. Pada tahun 1930 diadakan perubahan yaitu menambah jarak pilar menjadi 4 m dari atap.





Setelah kemerdekaan tahun 1952 dilakukan perluasan ketiga dengan bentuk yang tidak lagi harmonis dengan aslinya dengan ditambah kubah. pengurus yayasan masjid agung 1966 -1979 meneruskan penambahan ruangan dengan menambah bangunan lantai 2 yang selesai tahun 1969. Pada tanggal 22 januari 1970 dimulai Pembanguan menara baru dengan tinggi 45 meter, bersegi.

12 yang dibiayai Pertamina dan di resmikan pada Tanggal 1 Februari 1971. Sejak tahun 2000 Masjid ini di renovasi dan selesai pada tanggal 16 Juni 2003 yang diresmikan oleh Presiden RI Hj. Megawati Soekarno Putri.

Arsitektur Masjid Agung dan beberapa masjid lama di Palembang menawarkan bentuk-bentuk yang simbolik. Undak-undakan di pelataran dan di atap masjid, misalnya, melambangkan tarekat atau perjalanan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tingkat pertama merupakan syariah atau tahap penertiban amal perbuatan yang baik, sesuai dengan tuntunan agama. Tingkat kedua mencerminkan hakikat atau proses pencarian atas ruh yang tersimpan di balik perbuatan yang kasatmata. Tahap ketiga menjadi puncak perjalanan karena manusia telah mengalami marifat, mengenal hakikat Tuhan.

Bentuk undak-undakan senantiasa mengajak manusia untuk mengasah diri dengan menertibkan perbuatan, meraih makna, dan mengenal Tuhan. Tahap-tahap itu merupakan perjalanan spiritual yang tiada berakhir.

Sejarah Masjid Agung Palembang

Masjid Agung Palembang pada mulanya disebut Masjid Sultan dan dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Peresmian pemakaian masjid ini dilakukan pada tanggal 28 Jumadil Awal 1151 H (26 Mei 1748). Ukuran bangunan mesjid waktu pertama dibangun semula seluas 1080 meter persegi dengan daya tampung 1200 jemaah. Perluasan pertama dilakukan dengan wakaf Sayid Umar bin Muhammad Assegaf Altoha dan Sayid Achmad bin Syech Sahab yang dilaksanakan pada tahun 1897 dibawah pimpinan Pangeran Nataagama Karta mangala Mustafa Ibnu Raden Kamaluddin.

Pada awal pembangunannya (1738-1748), sebagaimana masjid-masjid tua di Indonesia, Mesjid Sultan ini pada awalnya tidak mempunyai menara. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1774) barulah dibangun menara yang letaknya agak terpisah di sebelah barat. Bentuk menaranya seperti pada menara bangunan kelenteng dengan bentuk atapnya berujung melengkung. Pada bagian luar badan menara terdapat teras berpagar yang mengelilingi bagian badan.
Bentuk masjid yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Agung, jauh berbeda tidak seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian dilakukan penambahan/perluasan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada tahun 1990-an. Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan.

Perluasan kedua kali pada tahun 1930. tahun 1952 dilakukan lagi perluasan oleh Yayasan Masjid Agung yang pada tahun 1966-1969 membangun tambahan lantai kedua sehingga luas mesjid sampai sekarang 5520 meter persegi dengan daya tampung 7.750.

Masjid Agung merupakan masjid tua dan sangat penting dalam sejarah Palembang. Masjid yang berusia sekitar 259 tahun itu terletak di Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, tepat di pertemuan antara Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman, pusat Kota Palembang. Tak jauh dari situ, ada Jembatan Ampera. Masjid dan jembatan itu telah menjadi land mark kota hingga sekarang.

Dalam sejarahnya, masjid yang berada di pusat kerajaan itu menjadi pusat kajian Islam yang melahirkan sejumlah ulama penting pada zamannya. Syekh Abdus Samad al-Palembani, Kemas Fachruddin, dan Syihabuddin bin Abdullah adalah beberapa ulama yang berkecimpung di masjid itu dan memiliki peran penting dalam praksis dan wacana Islam.

0 komentar: